Sabtu, 22 November 2014

Isu-isu krusial Administrasi Negara tentang Pelayanan Publik





TUGAS
ISU-ISU KRUSIAL ADMINISTRASI NEGARA
TENTANG “PELAYANAN PUBLIK”
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Teori Administrasi
Dosen : Dr. Sahya Anggara, Drs., M.Si
                Aris Munandar, M.Si













Disusun Oleh :


Muhammad Thalha Ma'sum               (1138010176)




JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2014




A.          Dasar Pemikiran
Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri mempunyai banyak arti, dari mulai pelayanan personal (personal service) sampai jasa sebagai produk. Berbagai konsep mengenai pelayanan banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Haksever et al (2000) menyatakan bahwa jasa atau pelayanan (services) didefinisikan sebagai kegiatan ekonomi yang menghasilkan waktu, tempat, bentuk dan kegunaan psikologis. Menurut Edvardsson et al (2005) jasa atau pelayanan juga merupakan kegiatan, proses dan interaksi serta merupakan perubahan dalam kondisi orang atau sesuatu dalam kepemilikan pelanggan.
Sinambela (2010, hal : 3), pada dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Menurut Kotlern dalam Sampara Lukman, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat, pelayanan adalah sutu kegiatan
Pelayanan publik merupakan tanggungjawab pemerintah dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah, baik itu di pusat, di Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara  (BUMN). Pelayanan publik berbentuk pelayanan barang publik maupun pelayanan jasa. Dewasa ini Masyarakat semakin terbuka dalam memberikan kritik bagi pelayanan publik. Oleh sebab itu substansi administrasi sangat berperan dalam mengatur dan mengarahkan seluruh kegiatan organisasi pelayanan dalam mencapai tujuan. Salah satu bentuk pelayanan publik yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pemenuhan kebutuhan kesehatan masyarakat. Reformasi dibidang kesehatan dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan menjadikannya lebih efisien, efektif serta dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu keluhan yang sering terdengar dari masyarakat yang berhubungan dengan aparatur pemerintah adalah selain berbelit-belit akibat birokrasi yang kaku, perilaku oknum aparatur yang kadang kala kurang bersahabat, juga kinerja  pegawai dalam memberikan pelayanan dalam hal ini ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan, kuantitas dan kualitas pelayanan yang masih sangat rendah.
Pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4 (empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu;
1.                          Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.                          Memajukan kesejahteraan umum;
3.                          Mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan;
4.                          Perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dan diperjelas lagi dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 yang menguraikan pedoman umum penyelenggaraan pelayanan public. Pelayanan sebagai proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara lansung, merupakan konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada tatanan organisasi pemerintah.
Dewasa ini kehidupan masyarakat mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam proses pembangunan sebelumnya dan kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dapat dirasakan sekarang ini adalah terjadinya perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang semakin kritis. Hal itu dimungkinkan, karena semakin hari warga masyarakat semakin cerdas dan semakin memahami hak dan kewajibannya sebagai warga. Kondisi masyarakat yang demikian menuntut hadirnya pemerintah yang mampu memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan dalam segala aspek kehidupan mereka, terutama dalam mendapatkan pelayanan yang sebaik-baiknya dari pemerintah. Dalam kaitannya itu (Rasyid 1997:11) mengemukakan bahwa : Pemerintah modern, dengan kata lain, pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat. Memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan bersama.
Pemberian palayanan yang memenuhi standar yang telah ditetapkan memang menjadi bagian yang perlu dicermati. Saat ini masih sering dirasakan bahwa kualitas pelayanan minimum sekalipun masih jauh dari harapan masyarakat. Yang lebih memprihatinkan lagi, masyarakat hampir sama sekali tidak memahami secara pasti tentang pelayanan yang seharusnya diterima dan sesuai dengan prosedur pelayanan yang baku oleh pemerintah. Masyarakatpun enggan mengadukan apabila menerima pelayanan yang buruk, bahkan hampir pasti mereka pasrah menerima layanan seadanya. Kenyataan semacam ini terdorong oleh sifatpublic goods menjadi monopoli pemerintah khususnya dinas/instansi pemerintah daerah dan hampir tidak ada pembanding dari pihak lain. Praktek semacam ini menciptakan kondisi yang merendahkan posisi tawar dari masyarakat sebagai penggunan jasa pelayanan dari pemerintah, sehingga memaksa masyarakat mau tidak mau menerima dan menikmati pelayanan yang kurang memadai tanpa protes.
Satu hal yang belakangan ini sering dipermasalahkan adalah dalam bidang publik service (Pelayanan Umum), terutama dalam hal kualitas atau mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi masyarakat dituntut untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Apalagi pada era otonomi daerah, kulitas dari pelayanan aparatur pemerintah akan semakin ditantang untuk optimal dan mampu menjawab tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat, baik dari segi kulitas maupun dari segi kuantitas pelayanan. Di negara-negara berkembang dapat kita lihat mutu pelayanan publik merupakan masalah yang sering muncul, karena pada negara berkembang umumnya permintaan akan pelayanan jauh melebihi kemampuan pemerintah untuk memenuhinya sehingga pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang terpenuhi baik dilihat dari segi kulitas maupun kuantitas.
B.           Tujuan
Mendeskripsikan dan mengetahui Isu-isu Krusial Pelayanan Publik Birokrasi.
C.          Manfaat
1.      Manfaat Teoritis:
a.             Menunjukan secara ilmiah mengenai Isu-isu Krusial Administrasi Negara tentang “Pelayanan Publik”.
b.            Dalam wilayah akademis, memperkaya khazanah kajian Ilmu Administrasi Negara untuk pengembangan keilmuan, khususnya mengenai pelayanan public administrasi Negara.
2.      Manfaat Praktis:
a.             Memberikan bahan rujukan kepada mahasiswa dalam memahami realitas pelayanan publik.
b.            Memberikan informasi tentang pelayanan publik administrasi Negara.
c.             Sebagai salah satu persyaratan memenuhi tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Teori Administrasi.
D.          Teori Pendukung
Definisi pelayanan publik menurut para ahli, yaitu sebagai berikut:
·               Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah dalam, barang atau jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketertiban-ketertiban. (Sumber: Robert, 1996, Pelayanan publik, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm 30)
·               Pelayanan publik adalah pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapakan. (Sumber: Widodo Joko, 2001, Etika Birokrasi Dalam Pelayanan Publik, Citra Malang, 131)
·               Pelayanan publik dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dantata cara yang telah ditetapkan. (Sumber: http://id.scribd.com/doc/11319551/Pengertian-Pelayanan-Publik)
·               Menurut Sianipar (2000:7) Pelayanan adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus, menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekelompok orang.
·               Thoha dalam Nasution, (1993;33) menyatakan bahwa pelayanan masyarakat merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang maupun suatu instansi tertentu untuk memberikan bantuan dan kemudahan pada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Kesimpulan dari definisi diatas bahwa pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah dalam, dan melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapakan.
E.           Permasalahan
Permasalahan utama pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana), dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.
Dilihat dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain:
1.            Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
2.            Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
3.            Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
4.            Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
5.            Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
6.            Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan, saran, aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
7.            Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan.
Dilihat dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem kompensasi yang tepat.
Dilihat dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada design organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien.
Kualitas pelayanan publik yang kerap dikeluhkan masyarakat, dapat terjadi karena berbagai hal. Salah satu determinan internal adalah lemahnya sistem pengendalian manajemen pemerintahan. Seperti kita ketahui, pada jam-jam pelayanan publik, aparat kerap lalai dalam melayani masyarakat. Masalah berikutnya adalah ringannya konsekuensi dari kealpaan ini.
Habituasi dari kealpaan ini, berpotensi menciptakan set mental tertentu mengenai tanggung jawab pekerjaan di kepala setiap aparat. Set mental ini menjadi derivasi bagi budaya kerja, sebagian lembaga pemerintahan yang lazim datang terlambat, kualitas pelayanan minimalis, hingga mempersulit proses.
Selain itu, determinan internal lainnya adalah penempatan posisi (position building), yang dibangun secara horizontal antara aparat pemerintah dengan masyarakat. Paradigma posisi atasan-bawahan ini, menghasilkan suatu ketergantungan akut. Sebab, dalam persepsi masyarakat dan pemerintah itu sendiri, pemenuhan hak-hak masyarakat adalah pemberian dan bukan tanggung jawab.
Paradigma ini yang disebut budaya paternalistik, terkadang diinternalisasi aparat pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah dengan mudah dapat mempermainkan wewenangnya dalam melayani masyarakat. Di sisi lain, masyarakat pun terjebak dalam posisi subordinat, dengan daya gugat yang lemah.
Subordinasi masyarakat dalam pelayanan publik, juga dipengaruhi politik pemerintahan yang tertutup. Dengan pendekatan ini, pemerintah menjadi sistem yang tidak responsif dalam mengakomodasi nilai-nilai dan kebutuhan dari masyarakat. Terjadi represi artifisial terhadap setiap aspirasi masyarakat.
F.           Pemecahan Masalah
Tuntutan masyarakat pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.            Penetapan Standar Pelayanan.
Standar pelayanan memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan, identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang akan ditanganinya.
2.            Pengembangan Standard Operating Procedures (SOP).
Untuk memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten.
3.            Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga kepuasan masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4.            Pengembangan Sistem Pengelolaan Pengaduan.
Pengaduan masyarakat merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan; Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.
Disamping itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.
Faktor yang mempengaruhi tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik yaitu:
1)            Masalah struktural birokrasi yang menyangkut penganggaran untuk pelayanan publik.
2)            Adanya kendala kultural di dalam birokrasi.
Selain itu ada pula faktor dari perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku melayani, dan sebaliknya cenderung menunjukkan perilaku ingin dilayani. Selain itu, dalam Seminar Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi indonesia yang diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, ada beberapa permasalah yang ada dalam pelayanan publik yaitu: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan, saran, aspirasi masyarakat, dan efisien.
Kuantitas maupun Kualitas pelayanan publik di Indonesia masih buruk (belum memadai) baik dilihat dari kebutuhan masyarakat maupun dari standard yang ada (jika sudah ditetapkan). Banyak permasalahan dalam pelayanan public di Indonesia, Antaranya:
1)            Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik
2)            Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Kewenangan dalam Bentuk Kolusi Korupsi Nepotisme
3)            Birokrasi yang panjang dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan.
4)            Rendahnya pengawasan external dari masyarakat
5)            Belum Berjalannya Desentralisasi Kewenangan Secara Efektif
Unsur terpenting dari sebuah sistem pelayanan publik yang belum diatur secara lebih jelas dan tegas di dalam sistem pelayanan publik di Indonesia dewasa ini adalah Kode Perilaku Petugas Pelaksana Pelayanan Publik (Code of Conduct for Public Servants). Hal ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan sistem pelayanan publik, terutama bila disadari bahwa sebagian besar dari permasalahan dan keluhan mengenai pelayanan publik di Indonesia dapat dikembalikan pada unsur manusia pengemban fungsi pelayanan publiknya. Kehadiran sebuah Code of Conduct yang selengkapnya mungkin akan lebih mengkokohkan struktur dasar dari Sistem Pelayanan Publik Indonesia.
Kinerja pelayanan birokrasi pemerintahan pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Berbagai prilaku aparat birokrasi, baik di daerah istimewa Yogyakarta, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, masih menunjukan  rendahnya derajat akuntabilitas, responsivitas, dan efesiensi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Ide reformasi yang menginginkan agar birokrasi lebih bersifat transparan, terbuka, dan jujur masih jauh dari harapan. Birokrasi masih tetap belum terlihat secara nyata mengembangkan komitmen untuk mengembangkan iklim dialog yang membangun kepercayaan kepada public. Belum terbentuknya kepercayaan dari public terhadap birokrasi menyebabkan hubungan birokrasi dengan public sering kali masih belum komunikatif. Birokrasi membutuhkan kepercayaan public sebagai kunci utama bagi terselenggaranya pelayanan public yang akuntabel. Pemberian pelayanan yang transparan oleh birokrasi pemerintah yang mencakup persyaratan, prosedur, ketepatan waktu, kepastian biaya, dan kemarahan petugas menjadi dambaan public pada era reformasi. (Sumber: Agus Dwiyanto dkk, 2008, Reformasi Birokasi Publik di Indonesia, Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press, hlm 234)
Hanya kekecewaan yang dirasakan masyarakat, pelayanan publik dimonopoli oleh Sekelompok orang, sarana prasarana tidak memadai, produk yang ditawarkan juga buruk serta pelayanan yang buruk. Seiring dengan perkembangan Indonesia sudah mulai menata kembali keadaan pelayanan public yang diberikan kepada masyarakat, Dengan belajar dari kekurangan masa lalu untuk menggapai perubahan pelayanan public yang berkualitas dimasa depan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
a.             Transparansi, yaitu pelayanan yang bersifat terbuka, muda dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b.            Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
c.             Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
d.            Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat mendorong peran serta masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.
e.             esamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun kususnya suku, ras, agama, golongan, status sosial.
Dibandingkan Pelayanan Masa Lalu dam sekarang ini, antara lain;
·               Birokrasi berbelit-belit
·               Monoton, tidak kreatif dan tidak inovatif
·               Lama dan tidak ada kepastian waktu
·               Pungli & biaya tidak jelas
G.          Kesimpulan
Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah dalam, dan melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapakan.
Kinerja pelayanan birokrasi pemerintahan pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan secara signifikan. Berbagai prilaku aparat birokrasi, baik di daerah istimewa sekalipun masih menunjukan  rendahnya derajat akuntabilitas, responsivitas, dan efesiensi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Ide reformasi yang menginginkan agar birokrasi lebih bersifat transparan, terbuka, dan jujur masih jauh dari harapan.
Kualitas pelayanan publik di Indonesia masih buruk (belum memadai) baik dilihat dari kebutuhan masyarakat maupun dari standard yang ada (jika sudah ditetapkan). Banyak permasalahan dalam pelayanan public di Indonesia, Antaranya: Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik, Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Kewenangan dalam Bentuk Kolisi Korupsi Nepotisme, Birokrasi yang panjang dan adanya tumpang tindih tugas dan kewenangan, Rendahnya pengawasan external dari masyarakat dan Belum Berjalannya Desentralisasi Kewenangan Secara Efektif.





DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus. Dkk. 2008. Reformasi Birokasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:  Gadjah Mada University Press.
Robert. 1996. Pelayanan publik, Jakarta Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar