TUGAS
ISU-ISU KRUSIAL ADMINISTRASI NEGARA
TENTANG “PELAYANAN PUBLIK”
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Ujian Tengah Semester Mata Kuliah
Teori Administrasi
Dosen : Dr. Sahya Anggara, Drs., M.Si
Disusun Oleh :
Muhammad Thalha Ma'sum (1138010176)
JURUSAN ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG
DJATI BANDUNG
2014
A.
Dasar
Pemikiran
Jasa sering dipandang sebagai suatu
fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri mempunyai banyak arti, dari mulai
pelayanan personal (personal service) sampai jasa sebagai produk. Berbagai
konsep mengenai pelayanan banyak dikemukakan oleh para ahli seperti Haksever et
al (2000) menyatakan bahwa jasa atau pelayanan (services) didefinisikan sebagai
kegiatan ekonomi yang menghasilkan waktu, tempat, bentuk dan kegunaan
psikologis. Menurut Edvardsson et al (2005) jasa atau pelayanan juga merupakan
kegiatan, proses dan interaksi serta merupakan perubahan dalam kondisi orang
atau sesuatu dalam kepemilikan pelanggan.
Sinambela (2010, hal : 3), pada
dasarnya setiap manusia membutuhkan pelayanan, bahkan secara ekstrim dapat dikatakan
bahwa pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Menurut
Kotlern dalam Sampara Lukman, pelayanan adalah setiap kegiatan yang menguntungkan
dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya
tidak terikat pada suatu produk secara fisik. Selanjutnya Sampara berpendapat,
pelayanan adalah sutu kegiatan
Pelayanan publik merupakan
tanggungjawab pemerintah dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah, baik itu di
pusat, di Daerah, dan dilingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pelayanan publik berbentuk pelayanan
barang publik maupun pelayanan jasa. Dewasa ini Masyarakat semakin terbuka
dalam memberikan kritik bagi
pelayanan publik. Oleh sebab itu substansi administrasi sangat berperan dalam mengatur dan mengarahkan seluruh kegiatan
organisasi pelayanan dalam mencapai tujuan. Salah satu bentuk pelayanan publik
yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah pemenuhan kebutuhan kesehatan
masyarakat. Reformasi dibidang kesehatan dilaksanakan untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan dan menjadikannya lebih efisien, efektif serta dapat dijangkau oleh
seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu keluhan yang sering
terdengar dari masyarakat yang berhubungan dengan aparatur pemerintah adalah
selain berbelit-belit
akibat birokrasi yang kaku, perilaku oknum
aparatur yang kadang kala kurang bersahabat, juga kinerja pegawai dalam memberikan pelayanan dalam hal
ini ketepatan waktu dalam memberikan pelayanan, kuantitas dan kualitas pelayanan
yang masih sangat rendah.
Pelayanan merupakan tugas utama yang
hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Tugas ini
telah jelas digariskan dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang meliputi 4
(empat) aspek pelayanan pokok aparatur terhadap masyarakat, yaitu;
1.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia;
2.
Memajukan kesejahteraan umum;
3.
Mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan;
4.
Perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dan diperjelas lagi dalam Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 63 tahun 2003 yang menguraikan
pedoman umum penyelenggaraan pelayanan public. Pelayanan sebagai proses
pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain secara lansung, merupakan
konsep yang senantiasa aktual dalam berbagai aspek kelembagaan. Bukan hanya
pada organisasi bisnis, tetapi telah berkembang lebih luas pada tatanan
organisasi pemerintah.
Dewasa ini kehidupan masyarakat
mengalami banyak perubahan sebagai akibat dari kemajuan yang telah dicapai dalam
proses pembangunan sebelumnya dan kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan
dan teknologi. Perubahan yang dapat dirasakan sekarang ini adalah terjadinya
perubahan pola pikir masyarakat ke arah yang semakin kritis. Hal itu
dimungkinkan, karena semakin hari warga masyarakat semakin cerdas dan semakin
memahami hak dan kewajibannya sebagai warga. Kondisi masyarakat yang demikian
menuntut hadirnya pemerintah yang mampu memenuhi berbagai tuntutan kebutuhan
dalam segala aspek kehidupan mereka, terutama dalam mendapatkan pelayanan yang
sebaik-baiknya dari pemerintah. Dalam kaitannya itu (Rasyid 1997:11)
mengemukakan bahwa : Pemerintah modern, dengan kata lain, pada hakekatnya
adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah tidaklah diadakan untuk melayani
dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat. Memungkinkan setiap anggota
masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai kemajuan
bersama.
Pemberian palayanan yang memenuhi
standar yang telah ditetapkan memang menjadi bagian yang perlu dicermati. Saat
ini masih sering dirasakan bahwa kualitas pelayanan minimum sekalipun masih
jauh dari harapan masyarakat. Yang lebih memprihatinkan lagi, masyarakat hampir
sama sekali tidak memahami secara pasti tentang pelayanan yang seharusnya
diterima dan sesuai dengan prosedur pelayanan yang baku oleh pemerintah.
Masyarakatpun enggan mengadukan apabila menerima pelayanan yang buruk, bahkan
hampir pasti mereka pasrah menerima layanan seadanya. Kenyataan semacam ini
terdorong oleh sifatpublic goods menjadi monopoli pemerintah khususnya
dinas/instansi pemerintah daerah dan hampir tidak ada pembanding dari pihak
lain. Praktek semacam ini menciptakan kondisi yang merendahkan posisi tawar
dari masyarakat sebagai penggunan jasa pelayanan dari pemerintah, sehingga
memaksa masyarakat mau tidak mau menerima dan menikmati pelayanan yang kurang
memadai tanpa protes.
Satu hal yang belakangan ini sering
dipermasalahkan adalah dalam bidang publik service (Pelayanan Umum), terutama
dalam hal kualitas atau mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat.
Pemerintah sebagai service provider (Penyedia Jasa) bagi masyarakat dituntut
untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Apalagi pada era otonomi daerah,
kulitas dari pelayanan aparatur pemerintah akan semakin ditantang untuk optimal
dan mampu menjawab tuntutan yang semakin tinggi dari masyarakat, baik dari segi
kulitas maupun dari segi kuantitas pelayanan. Di negara-negara berkembang dapat
kita lihat mutu pelayanan publik merupakan masalah yang sering muncul, karena pada
negara berkembang umumnya permintaan akan pelayanan jauh melebihi kemampuan
pemerintah untuk memenuhinya sehingga pelayanan yang diberikan pemerintah
kepada masyarakat kurang terpenuhi baik dilihat dari segi kulitas maupun
kuantitas.
B.
Tujuan
Mendeskripsikan
dan mengetahui Isu-isu Krusial Pelayanan Publik Birokrasi.
C.
Manfaat
1.
Manfaat
Teoritis:
a.
Menunjukan secara ilmiah mengenai
Isu-isu Krusial Administrasi Negara tentang “Pelayanan Publik”.
b.
Dalam wilayah akademis, memperkaya
khazanah kajian Ilmu Administrasi Negara untuk pengembangan keilmuan, khususnya
mengenai pelayanan public administrasi Negara.
2.
Manfaat
Praktis:
a.
Memberikan bahan rujukan kepada
mahasiswa dalam memahami realitas pelayanan publik.
b.
Memberikan informasi tentang pelayanan
publik administrasi Negara.
c.
Sebagai salah satu persyaratan memenuhi
tugas Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Teori Administrasi.
D.
Teori
Pendukung
Definisi pelayanan
publik menurut para ahli, yaitu sebagai berikut:
·
Pelayanan publik adalah segala bentuk
kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di
daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau daerah dalam, barang atau
jasa baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka
pelaksanaan ketertiban-ketertiban. (Sumber: Robert, 1996, Pelayanan publik, PT Gramedia Pustaka Utama, hlm 30)
·
Pelayanan publik adalah pemberian
layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan
pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang tekah
ditetapakan. (Sumber: Widodo Joko, 2001, Etika
Birokrasi Dalam Pelayanan Publik, Citra Malang, 131)
·
Pelayanan publik dapat diartikan sebagai
pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dantata cara yang
telah ditetapkan. (Sumber: http://id.scribd.com/doc/11319551/Pengertian-Pelayanan-Publik)
·
Menurut Sianipar (2000:7) Pelayanan
adalah suatu cara melayani, membantu menyiapkan, mengurus, menyelesaikan
keperluan, kebutuhan seseorang atau sekelompok orang.
·
Thoha dalam Nasution, (1993;33)
menyatakan bahwa pelayanan masyarakat merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok orang maupun suatu instansi tertentu untuk memberikan
bantuan dan kemudahan pada masyarakat dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Kesimpulan dari definisi diatas bahwa pelayanan
publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh
instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan badan usaha milik negara atau
daerah dalam, dan melayani keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai
kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan aturan pokok dan tata cara
yang tekah ditetapakan.
E.
Permasalahan
Permasalahan utama
pelayanan publik pada dasarnya adalah berkaitan dengan peningkatan kualitas
pelayanan itu sendiri. Pelayanan yang berkualitas sangat tergantung pada
berbagai aspek, yaitu bagaimana pola penyelenggaraannya (tata laksana),
dukungan sumber daya manusia, dan kelembagaan.
Dilihat
dari sisi pola penyelenggaraannya, pelayanan publik masih memiliki berbagai
kelemahan antara lain:
1.
Kurang responsif. Kondisi ini terjadi
pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas
pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon
terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali
lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
2.
Kurang informatif. Berbagai informasi
yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai
kepada masyarakat.
3.
Kurang accessible. Berbagai unit
pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga
menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
4.
Kurang koordinasi. Berbagai unit
pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi.
Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara
satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
5.
Birokratis. Pelayanan (khususnya
pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri
dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu
lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf
pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil,
dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab
pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan
diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan
waktu yang lama untuk diselesaikan.
6.
Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan
aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan
untuk mendengar keluhan, saran, aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan
dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
7.
Inefisien. Berbagai persyaratan yang
diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan
pelayanan yang diberikan.
Dilihat
dari sisi sumber daya manusianya, kelemahan utamanya adalah berkaitan dengan
profesionalisme, kompetensi, empathy dan etika. Berbagai pandangan juga setuju
bahwa salah satu dari unsur yang perlu dipertimbangkan adalah masalah sistem
kompensasi yang tepat.
Dilihat
dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada design organisasi yang
tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat,
penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit
(birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua
fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat
kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik
menjadi tidak efisien.
Kualitas
pelayanan publik yang kerap dikeluhkan masyarakat, dapat terjadi karena
berbagai hal. Salah satu determinan internal adalah lemahnya sistem
pengendalian manajemen pemerintahan. Seperti kita ketahui, pada jam-jam
pelayanan publik, aparat kerap lalai dalam melayani masyarakat. Masalah
berikutnya adalah ringannya konsekuensi dari kealpaan ini.
Habituasi
dari kealpaan ini, berpotensi menciptakan set mental tertentu mengenai tanggung
jawab pekerjaan di kepala setiap aparat. Set mental ini menjadi derivasi bagi
budaya kerja, sebagian lembaga pemerintahan yang lazim datang terlambat,
kualitas pelayanan minimalis, hingga mempersulit proses.
Selain
itu, determinan internal lainnya adalah penempatan posisi (position building),
yang dibangun secara horizontal antara aparat pemerintah dengan masyarakat.
Paradigma posisi atasan-bawahan ini, menghasilkan suatu ketergantungan akut.
Sebab, dalam persepsi masyarakat dan pemerintah itu sendiri, pemenuhan hak-hak
masyarakat adalah pemberian dan bukan tanggung jawab.
Paradigma
ini yang disebut budaya paternalistik, terkadang diinternalisasi aparat
pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, pemerintah dengan mudah dapat
mempermainkan wewenangnya dalam melayani masyarakat. Di sisi lain, masyarakat
pun terjebak dalam posisi subordinat, dengan daya gugat yang lemah.
Subordinasi
masyarakat dalam pelayanan publik, juga dipengaruhi politik pemerintahan yang
tertutup. Dengan pendekatan ini, pemerintah menjadi sistem yang tidak responsif
dalam mengakomodasi nilai-nilai dan kebutuhan dari masyarakat. Terjadi represi
artifisial terhadap setiap aspirasi masyarakat.
F.
Pemecahan
Masalah
Tuntutan masyarakat
pada era desentralisasi terhadap pelayanan publik yang berkualitas akan semakin
menguat. Oleh karena itu, kredibilitas pemerintah sangat ditentukan oleh
kemampuannya mengatasi berbagai permasalahan di atas sehingga mampu menyediakan
pelayanan publik yang memuaskan masyarakat sesuai dengan kemampuan yang
dimilikinya. Dari sisi mikro, hal-hal yang dapat diajukan untuk mengatasi
masalah-masalah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1.
Penetapan Standar Pelayanan.
Standar pelayanan
memiliki arti yang sangat penting dalam pelayanan publik. Standar pelayanan
merupakan suatu komitmen penyelenggara pelayanan untuk menyediakan pelayanan
dengan suatu kualitas tertentu yang ditentukan atas dasar perpaduan
harapan-harapan masyarakat dan kemampuan penyelenggara pelayanan. Penetapan
standar pelayanan yang dilakukan melalui proses identifikasi jenis pelayanan,
identifikasi pelanggan, identifikasi harapan pelanggan, perumusan visi dan misi
pelayanan, analisis proses dan prosedur, sarana dan prasarana, waktu dan biaya
pelayanan. Proses ini tidak hanya akan memberikan informasi mengenai standar
pelayanan yang harus ditetapkan, tetapi juga informasi mengenai kelembagaan
yang mampu mendukung terselenggaranya proses manajemen yang menghasilkan
pelayanan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Informasi lain yang juga
dihasilkan adalah informasi mengenai kuantitas dan kompetensi-kompetensi sumber
daya manusia yang dibutuhkan serta distribusinya beban tugas pelayanan yang
akan ditanganinya.
2.
Pengembangan Standard Operating
Procedures (SOP).
Untuk
memastikan bahwa proses pelayanan dapat berjalan secara konsisten diperlukan
adanya Standard Operating Procedures. Dengan adanya SOP, maka proses pengolahan
yang dilakukan secara internal dalam unit pelayanan dapat berjalan sesuai
dengan acuan yang jelas, sehingga dapat berjalan secara konsisten.
3.
Pengembangan Survey Kepuasan Pelanggan.
Untuk menjaga kepuasan
masyarakat, maka perlu dikembangkan suatu mekanisme penilaian kepuasan
masyarakat atas pelayanan yang telah diberikan oleh penyelenggara pelayanan
publik. Dalam konsep manajemen pelayanan, kepuasan pelanggan dapat dicapai
apabila produk pelayanan yang diberikan oleh penyedia pelayanan memenuhi
kualitas yang diharapkan masyarakat. Oleh karena itu, survey kepuasan pelanggan
memiliki arti penting dalam upaya peningkatan pelayanan publik;
4.
Pengembangan Sistem Pengelolaan
Pengaduan.
Pengaduan masyarakat
merupakan satu sumber informasi bagi upaya-upaya pihak penyelenggara pelayanan
untuk secara konsisten menjaga pelayanan yang dihasilkannya sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan. Oleh karena itu perlu didisain suatu sistem
pengelolaan pengaduan yang secara dapat efektif dan efisien mengolah berbagai
pengaduan masyarakat menjadi bahan masukan bagi perbaikan kualitas pelayanan;
Sedangkan dari sisi makro, peningkatan kualitas pelayanan publik dapat
dilakukan melalui pengembangan model-model pelayanan publik. Dalam hal-hal
tertentu, memang terdapat pelayanan publik yang pengelolaannya dapat dilakukan
secara private untuk menghasilkan kualitas yang baik. Beberapa model yang sudah
banyak diperkenalkan antara lain: contracting out, dalam hal ini pelayanan
publik dilaksanakan oleh swasta melalui suatu proses lelang, pemerintah
memegang peran sebagai pengatur; franchising, dalam hal ini pemerintah menunjuk
pihak swasta untuk dapat menyediakan pelayanan publik tertentu yang diikuti
dengan price regularity untuk mengatur harga maksimum. Dalam banyak hal
pemerintah juga dapat melakukan privatisasi.
Disamping
itu, peningkatan kualitas pelayanan publik juga perlu didukung adanya
restrukturisasi birokrasi, yang akan memangkas berbagai kompleksitas pelayanan
publik menjadi lebih sederhana. Birokrasi yang kompleks menjadi ladang bagi
tumbuhnya KKN dalam penyelenggaraan pelayanan.
Faktor
yang mempengaruhi tidak berjalannya pelayanan publik dengan baik yaitu:
1)
Masalah struktural birokrasi yang
menyangkut penganggaran untuk pelayanan publik.
2)
Adanya kendala kultural di dalam
birokrasi.
Selain itu ada pula
faktor dari perilaku aparat yang tidak mencerminkan perilaku melayani, dan
sebaliknya cenderung menunjukkan perilaku ingin dilayani. Selain itu, dalam
Seminar Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi indonesia yang
diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor
Bappenas, Jakarta Pusat, ada beberapa permasalah yang ada dalam pelayanan
publik yaitu: kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang
koordinasi, birokratis, kurang mau mendengar keluhan, saran, aspirasi masyarakat,
dan efisien.
Kuantitas maupun Kualitas
pelayanan publik di Indonesia masih buruk (belum memadai) baik dilihat dari
kebutuhan masyarakat maupun dari standard yang ada (jika sudah ditetapkan).
Banyak permasalahan dalam pelayanan public di Indonesia, Antaranya:
1)
Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik
2)
Tingginya Tingkat Penyalahgunaan
Kewenangan dalam Bentuk Kolusi Korupsi Nepotisme
3)
Birokrasi yang panjang dan adanya tumpang
tindih tugas dan kewenangan.
4)
Rendahnya pengawasan external dari
masyarakat
5)
Belum Berjalannya Desentralisasi
Kewenangan Secara Efektif
Unsur
terpenting dari sebuah sistem pelayanan publik yang belum diatur secara lebih
jelas dan tegas di dalam sistem pelayanan publik di Indonesia dewasa ini adalah
Kode Perilaku Petugas Pelaksana Pelayanan Publik (Code of Conduct for Public Servants). Hal ini menjadi salah satu
faktor penentu keberhasilan sistem pelayanan publik, terutama bila disadari
bahwa sebagian besar dari permasalahan dan keluhan mengenai pelayanan publik di
Indonesia dapat dikembalikan pada unsur manusia pengemban fungsi pelayanan
publiknya. Kehadiran sebuah Code of Conduct yang selengkapnya mungkin akan
lebih mengkokohkan struktur dasar dari Sistem Pelayanan Publik Indonesia.
Kinerja
pelayanan birokrasi pemerintahan pada masa reformasi tidak banyak mengalami
perubahan secara signifikan. Berbagai prilaku aparat birokrasi, baik di daerah
istimewa Yogyakarta, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, masih menunjukan rendahnya derajat akuntabilitas,
responsivitas, dan efesiensi dalam penyelenggaraan pelayanan public. Ide reformasi
yang menginginkan agar birokrasi lebih bersifat transparan, terbuka, dan jujur
masih jauh dari harapan. Birokrasi masih tetap belum terlihat secara nyata
mengembangkan komitmen untuk mengembangkan iklim dialog yang membangun
kepercayaan kepada public. Belum terbentuknya kepercayaan dari public terhadap
birokrasi menyebabkan hubungan birokrasi dengan public sering kali masih belum
komunikatif. Birokrasi membutuhkan kepercayaan public sebagai kunci utama bagi
terselenggaranya pelayanan public yang akuntabel. Pemberian pelayanan yang
transparan oleh birokrasi pemerintah yang mencakup persyaratan, prosedur,
ketepatan waktu, kepastian biaya, dan kemarahan petugas menjadi dambaan public
pada era reformasi. (Sumber: Agus Dwiyanto dkk, 2008, Reformasi Birokasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm 234)
Hanya
kekecewaan yang dirasakan masyarakat, pelayanan publik dimonopoli oleh
Sekelompok orang, sarana prasarana tidak memadai, produk yang ditawarkan juga
buruk serta pelayanan yang buruk. Seiring dengan perkembangan Indonesia sudah
mulai menata kembali keadaan pelayanan public yang diberikan kepada masyarakat,
Dengan belajar dari kekurangan masa lalu untuk menggapai perubahan pelayanan
public yang berkualitas dimasa depan sebagaimana diharapkan oleh masyarakat.
a.
Transparansi, yaitu pelayanan yang
bersifat terbuka, muda dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan
disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.
b.
Akuntabilitas, yaitu pelayanan yang
dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
c.
Kondisional, yaitu pelayanan yang sesuai
dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap
berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.
d.
Partisipatif, yaitu pelayanan yang dapat
mendorong peran serta masyarakat dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan
harapan masyarakat.
e.
esamaan hak, yaitu pelayanan yang tidak
melakukan diskriminasi dilihat dari aspek apapun kususnya suku, ras, agama,
golongan, status sosial.
Dibandingkan Pelayanan Masa Lalu dam sekarang
ini, antara lain;
·
Birokrasi berbelit-belit
·
Monoton, tidak kreatif dan tidak
inovatif
·
Lama dan tidak ada kepastian waktu
·
Pungli & biaya tidak jelas
G.
Kesimpulan
Pelayanan publik adalah segala bentuk kegiatan pelayanan
umum yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah pusat, di daerah dan lingkungan
badan usaha milik negara atau daerah dalam, dan melayani keperluan orang atau
masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi tersebut sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang tekah ditetapakan.
Kinerja pelayanan
birokrasi pemerintahan pada masa reformasi tidak banyak mengalami perubahan
secara signifikan. Berbagai prilaku aparat birokrasi, baik di daerah istimewa sekalipun
masih menunjukan rendahnya derajat
akuntabilitas, responsivitas, dan efesiensi dalam penyelenggaraan pelayanan
public. Ide reformasi yang menginginkan agar birokrasi lebih bersifat
transparan, terbuka, dan jujur masih jauh dari harapan.
Kualitas
pelayanan publik di Indonesia masih buruk (belum memadai) baik dilihat dari
kebutuhan masyarakat maupun dari standard yang ada (jika sudah ditetapkan).
Banyak permasalahan dalam pelayanan public di Indonesia, Antaranya: Rendahnya
Kualitas Pelayanan Publik, Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Kewenangan dalam
Bentuk Kolisi Korupsi Nepotisme, Birokrasi yang panjang dan adanya tumpang
tindih tugas dan kewenangan, Rendahnya pengawasan external dari masyarakat dan Belum
Berjalannya Desentralisasi Kewenangan Secara Efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Dwiyanto, Agus. Dkk. 2008. Reformasi Birokasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Robert. 1996. Pelayanan publik, Jakarta Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar