“Reformasi
Birokrasi dalam Pencegahan Korupsi Menuju Birokrasi yang Efektif, Efesien, Bersih, dan Melayani”
Oleh: Muhammad Thalha Ma’sum
Administrasi Negara III-E
PENDAHULUAN
Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat kita.Dan tiap kali
mendengar kata “birokrasi”, kita langsung terpikir mengenai berbagai urusan
prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan
pemerintahan.Birokrasi kini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen
pemerintahan yang amat buruk.Dikatakan demikian karena kita mencium bahwa aroma
birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan
tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem
ini telah dianggap sebagai “tujuan” bukan lagi sekadar “alat” untuk mempermudah
jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama
menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan, mustahil negara tanpa birokrasi.
menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan, mustahil negara tanpa birokrasi.
Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi
yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar
dengan caramengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis”. Poin
pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat
untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam
upaya melayani masyarakat.
Kenyataan yang terjadi hingga detik ini, birokrasi hanya sebagai
“perpanjangan tangan” pemerintah untuk dilayani masyarakat.Atau dengan
birokrasi pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan lewat birokrasi. Sebuah
logika yang terbalik, Seharusnya
birokrasi adalah alat untuk melayani masyarakat dengan berbagai macam bentuk
kebijakan yang dihasilkan pemerintah.[1]
PEMBAHASAN
Reformasi birokrasi
dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan public diarahkan
untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel.Birokrasi
dalam melakukan berbagai kegiatan perbaikan pelayanan diharapkan lebih
berorientasi pada kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna jasa. Kepuasan
total dari masyarakat pengguna jasa tersebut dapat dicapai apabila birokrasi
pelayanan menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam pemberian
pelayanan. Perubahan pradigma pelayan publik tersebut diarahkan pada perwujudan
kualitas pelayanan prima kepada publik, melalui instrument pelayanan yang
memiliki orientasi pelayanan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.
Dalam memahami
reformasi, antara aparat birokrasi dengan masyarakat masih belum ditemukan
persamaan makna dan cara pandang. Perbedaan pemaknaan dari reformasi tersebut,
salah satu factor penyebabnya, adalah karena adanya perbedaan kepentingan
diantara keduanya.Pada sisi aparat birokrasi, terdapat kecenderungan bahwa
tidak semua aparat menyukai perubahan, terlebih bagi aparat yang merasa dengan
diuntungkan dengan system yang selama ini berlangsung. Pada sisi lain,
masyarakat menginginkan agar aparat birokrasi dapat bersikap dan berperilaku
seperti yang diinginkan masyarakat, yaitu pemberi pelayanan publik, yang mudah,
murah, cepat, tepat waktu, serta tidak berbelit-belit.[2]
Pembelajaran dan contoh
yang baik dalam praktik reformasi birokrasi akan bisa meningkatkan pelayanan
publik yang transparan dan akuntabel. Hal ini diharapkan dapat mengurangi
praktik-praktik korupsi di birokrasi dan dapat turut mendorong pembangunan
daerah yang berkeadilan dan menyejahterakan rakyat
Permasalahan birokrasi
Indonesia mulai diperbaiki melalui program reformasi birokrasi yang merupakan
tuntutan reformasi pascakrisis ekonomi tahun 1997. Bappenas (2004) menegaskan
bahwa reformasi bidang lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa terlebih
dahulu mereformasi birokrasi pemerintah. Reformasi birokrasi bertujuan agar
birokrasi mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih efisien dan efektif
sehingga bisa terwujud clean government
dan good governance.
Reformasi birokrasi
yang digulirkan oleh pemerintah tersebut ternyata belum mampu memperbaiki
budaya birokrasi, terutama menekan perilaku birokrasi yang cenderung korup.
Dengan kata lain reformasi dari internal birokrasi saja belum efektif dalam
memberantas korupsi.
Sumber penyakit
birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus, yaitu internal dan
eksternal.Sumber internal berasal
dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri.Secara
internal, timbulnya perilaku korup dalam birokrasi juga disebabkan lemahnya
sistem pengawasan internal.Sistem pengawasan atasan-bawahan praktis tak mungkin
terjadi dalam sistem yang korup secara bersama-sama.Penyakit inilah yang
menjadi fokus dari reformasi birokrasi yang dilaksanakan pemerintahan sejak
satu dekade yang lalu, meskipun belum mencapai hasil yang diharapkan.
Secara
eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi bisa disebabkan
oleh relasi antar berbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan
intervensi politik.Dalam banyak kasus korupsi birokrasi di daerah, tekanan
politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal ini bermula dari proses
pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis hubungan afiliasi.
Disamping kedua lokus
tersebut, sebab lain dari masih maraknya praktik korupsi dan manipulasi
diberbagai lembaga pemerintah adalah karena kualitas birokrasi dan kultur yang
terbangun didalam organisasi pemerintahan kita masih belum jauh beranjak dari
nilai-nilai lama yang secara kumulatif diwariskan dari masa lalu. Karena itu
sudah tepat jika pemerintah era reformasi, khususnya dimasa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudoyono meluncurkan program reformasi birokrasi.
Secara umum dipahami bahwa reformasi birokrasi minimal harus mencakup lima
sasaran utama yaitu:
1.
Perampingan organisasi dengan tujuan
efisiensi pembiayaan, efisiensi penggunaan tenaga, dan efisiensi pengunaan
waktu dalam menapaki tahapan pengambilan keputusan.
2.
Penerapan prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.
3.
Penegakan disiplin dan pembangunan
kultur birokrasi yang berbasis etika.
4.
Penerapan asas profesionalisme yang
berbasis kompetensi dan integritas dalam rekrutmen dan promosi.
5.
Pemberian imbalan yang sesuai kinerja
dan kontribusi masing-masing organisasi dan personil yang bekerja dilingkungan
pemerintahan.
Dengan penerapan
reformasi birokrasi seperti itu akan mengantarkan kepada praktik pemerintahan
yang bersih (clean government) dan
tata kelola pemerintahan yang baik (good
governance).Untuk itu struktur birokasi daerah hendaknya tetap bisa
menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta
menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Reformasi birokrasi dan
peluang ke arah terwujudnya governance
masih terbuka lebar apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan
partikularisme dalam pelayanan publik atau dalam menjalankan fungsinya sebagai “public servant”.Kontrak-kontrak kerja
yang dibuat apapun jenisnya harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan
akuntabel. Proses tender secara terbuka dan fair mesti dilakukan agar setiap
orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan peluang untuk dinilai
kelayakannya melaksanakan proyek itu. Dengan begitu kesempatan munculnya
praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dan mark up yang selama ini terjadi dalam
pelaksanaan proyek-proyek pembangunan akan bisa diminimalkan.
Akhirnya, reformasi
birokrasi tetap menghendaki pemerintah bisa lebih adaptif terhadap perubahan
dan dinamika masyarakat. Dengan begitu birokrasi akan lebih berkeadilan dan
berpihak pada kedaulatan rakyat sehingga lebih mengutamakan kepentingan
masyarakat secara profesional, proporsional dan efisien.
Agar birokrasi didalam
menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya
penyelenggaraan melayani Masyarakat) tidak diberi kesan adanya proses panjang
dan berbelit-belit. Maka birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan
perilaku agarmampu
memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat
antara lain:
a.
Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat
pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat;
dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan;
b.
Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan
organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang
mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu
ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada
masyarakat);
c.
Birokrasi harus mampu dan mau melakukan
perubahan sistem dan prosedur erjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri
organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap
mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu;
d.
Birokrasi harus memposisikan diri
sebagai fasilitator pelayan publik dari pada ebagai agen pembaharu (change of
agent ) pembangunan;
e.
Birokrasi harus mampu dan mau melakukan
transformasi diri dari birokrasi ang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi
birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan
responsif.[3]
KESIMPULAN
Reformasi birokrasi
dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan public diarahkan
untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel.Adapun Sumber
penyakit birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus, yaitu
internal dan eksternal.Sumber internal
berasal dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri.Secara eksternal, penyakit korupsi dalam
birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antar berbagai sistem yang terkait,
Reformasi birokrasi dan
peluang ke arah terwujudnya governance
masih terbuka lebar apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan partikularisme
dalam pelayanan publik atau dalam menjalankan fungsinya sebagai “public servant”.
DAFTAR
PUSTAKA
Dwiyanto,
Agus.Dkk. 2008.Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Referensi Lain:
Kuy
BalasHapus