Rabu, 26 November 2014

“Reformasi Birokrasi dalam Pencegahan Korupsi Menuju Birokrasi yang Efektif, Efesien, Bersih, dan Melayani”



“Reformasi Birokrasi dalam Pencegahan Korupsi Menuju Birokrasi yang Efektif, Efesien,  Bersih, dan Melayani”

Oleh: Muhammad Thalha Ma’sum
Administrasi Negara III-E

PENDAHULUAN

Birokrasi selalu menjadi perhatian masyarakat kita.Dan tiap kali mendengar kata “birokrasi”, kita langsung terpikir mengenai berbagai urusan prosedural penyelesaian surat-surat yang berkaitan dengan pemerintahan.Birokrasi kini dipandang sebagai sebuah sistem dan alat manajemen pemerintahan yang amat buruk.Dikatakan demikian karena kita mencium bahwa aroma birokrasi sudah melenceng dari tujuan semula sebagai medium penyelenggaraan tugas-tugas kemanusiaan, yaitu melayani masyarakat dengan sebaik-baiknya.
Citra buruk yang melekat dalam tubuh birokrasi dikarenakan sistem ini telah dianggap sebagai “tujuan” bukan lagi sekadar “alat” untuk mempermudah jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Kenyataannya, birokrasi telah lama
menjadi bagian penting dalam proses penyelenggaraan pemerintahan negara. Terkesan, mustahil negara tanpa birokrasi.
Menurut Peter M. Blau (2000:4), birokrasi adalah “tipe organisasi yang dirancang untuk menyelesaikan tugas-tugas administratif dalam skala besar dengan caramengkoordinasi pekerjaan banyak orang secara sistematis”. Poin pikiran penting dari definisi di atas adalah bahwa birokrasi merupakan alat untuk memuluskan atau mempermudah jalannya penerapan kebijakan pemerintah dalam upaya melayani masyarakat.
Kenyataan yang terjadi hingga detik ini, birokrasi hanya sebagai “perpanjangan tangan” pemerintah untuk dilayani masyarakat.Atau dengan birokrasi pejabat pemerintahan ingin mencari keuntungan lewat birokrasi. Sebuah logika yang terbalik,  Seharusnya birokrasi adalah alat untuk melayani masyarakat dengan berbagai macam bentuk kebijakan yang dihasilkan pemerintah.[1]


PEMBAHASAN
Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan public diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel.Birokrasi dalam melakukan berbagai kegiatan perbaikan pelayanan diharapkan lebih berorientasi pada kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna jasa. Kepuasan total dari masyarakat pengguna jasa tersebut dapat dicapai apabila birokrasi pelayanan menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam pemberian pelayanan. Perubahan pradigma pelayan publik tersebut diarahkan pada perwujudan kualitas pelayanan prima kepada publik, melalui instrument pelayanan yang memiliki orientasi pelayanan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.
Dalam memahami reformasi, antara aparat birokrasi dengan masyarakat masih belum ditemukan persamaan makna dan cara pandang. Perbedaan pemaknaan dari reformasi tersebut, salah satu factor penyebabnya, adalah karena adanya perbedaan kepentingan diantara keduanya.Pada sisi aparat birokrasi, terdapat kecenderungan bahwa tidak semua aparat menyukai perubahan, terlebih bagi aparat yang merasa dengan diuntungkan dengan system yang selama ini berlangsung. Pada sisi lain, masyarakat menginginkan agar aparat birokrasi dapat bersikap dan berperilaku seperti yang diinginkan masyarakat, yaitu pemberi pelayanan publik, yang mudah, murah, cepat, tepat waktu, serta tidak berbelit-belit.[2]
Pembelajaran dan contoh yang baik dalam praktik reformasi birokrasi akan bisa meningkatkan pelayanan publik yang transparan dan akuntabel. Hal ini diharapkan dapat mengurangi praktik-praktik korupsi di birokrasi dan dapat turut mendorong pembangunan daerah yang berkeadilan dan menyejahterakan rakyat
Permasalahan birokrasi Indonesia mulai diperbaiki melalui program reformasi birokrasi yang merupakan tuntutan reformasi pascakrisis ekonomi tahun 1997. Bappenas (2004) menegaskan bahwa reformasi bidang lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa terlebih dahulu mereformasi birokrasi pemerintah. Reformasi birokrasi bertujuan agar birokrasi mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih efisien dan efektif sehingga bisa terwujud clean government dan good governance.
Reformasi birokrasi yang digulirkan oleh pemerintah tersebut ternyata belum mampu memperbaiki budaya birokrasi, terutama menekan perilaku birokrasi yang cenderung korup. Dengan kata lain reformasi dari internal birokrasi saja belum efektif dalam memberantas korupsi.
Sumber penyakit birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus, yaitu internal dan eksternal.Sumber internal berasal dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri.Secara internal, timbulnya perilaku korup dalam birokrasi juga disebabkan lemahnya sistem pengawasan internal.Sistem pengawasan atasan-bawahan praktis tak mungkin terjadi dalam sistem yang korup secara bersama-sama.Penyakit inilah yang menjadi fokus dari reformasi birokrasi yang dilaksanakan pemerintahan sejak satu dekade yang lalu, meskipun belum mencapai hasil yang diharapkan.
Secara eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antar berbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik.Dalam banyak kasus korupsi birokrasi di daerah, tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal ini bermula dari proses pengisian jabatan yang sangat tertutup dan berbasis hubungan afiliasi.
Disamping kedua lokus tersebut, sebab lain dari masih maraknya praktik korupsi dan manipulasi diberbagai lembaga pemerintah adalah karena kualitas birokrasi dan kultur yang terbangun didalam organisasi pemerintahan kita masih belum jauh beranjak dari nilai-nilai lama yang secara kumulatif diwariskan dari masa lalu. Karena itu sudah tepat jika pemerintah era reformasi, khususnya dimasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono meluncurkan program reformasi birokrasi. Secara umum dipahami bahwa reformasi birokrasi minimal harus mencakup lima sasaran utama yaitu:
1.            Perampingan organisasi dengan tujuan efisiensi pembiayaan, efisiensi penggunaan tenaga, dan efisiensi pengunaan waktu dalam menapaki tahapan pengambilan keputusan.
2.            Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.
3.            Penegakan disiplin dan pembangunan kultur birokrasi yang berbasis etika.
4.            Penerapan asas profesionalisme yang berbasis kompetensi dan integritas dalam rekrutmen dan promosi.
5.            Pemberian imbalan yang sesuai kinerja dan kontribusi masing-masing organisasi dan personil yang bekerja dilingkungan pemerintahan.
Dengan penerapan reformasi birokrasi seperti itu akan mengantarkan kepada praktik pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).Untuk itu struktur birokasi daerah hendaknya tetap bisa menjamin tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Reformasi birokrasi dan peluang ke arah terwujudnya governance masih terbuka lebar apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan partikularisme dalam pelayanan publik atau dalam menjalankan fungsinya sebagai “public servant”.Kontrak-kontrak kerja yang dibuat apapun jenisnya harus dilaksanakan secara transparan, objektif dan akuntabel. Proses tender secara terbuka dan fair mesti dilakukan agar setiap orang atau perusahaan yang berminat memiliki kesamaan peluang untuk dinilai kelayakannya melaksanakan proyek itu. Dengan begitu kesempatan munculnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dan mark up yang selama ini terjadi dalam pelaksanaan proyek-proyek pembangunan akan bisa diminimalkan.
Akhirnya, reformasi birokrasi tetap menghendaki pemerintah bisa lebih adaptif terhadap perubahan dan dinamika masyarakat. Dengan begitu birokrasi akan lebih berkeadilan dan berpihak pada kedaulatan rakyat sehingga lebih mengutamakan kepentingan masyarakat secara profesional, proporsional dan efisien.
Agar birokrasi didalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan (termasuk di dalamnya penyelenggaraan melayani Masyarakat) tidak diberi kesan adanya proses panjang dan berbelit-belit. Maka birokrasi perlu melakukan beberapa perubahan sikap dan perilaku agarmampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat antara lain:
a.             Birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan;
b.            Birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat);
c.             Birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur erjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu;
d.            Birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada ebagai agen pembaharu (change of agent ) pembangunan;
e.             Birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi ang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.[3]





KESIMPULAN

Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan public diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel.Adapun Sumber penyakit birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus, yaitu internal dan eksternal.Sumber internal berasal dari kelemahan dan kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri.Secara eksternal, penyakit korupsi dalam birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antar berbagai sistem yang terkait,
Reformasi birokrasi dan peluang ke arah terwujudnya governance masih terbuka lebar apabila aparatur pemerintah tidak lagi melakukan partikularisme dalam pelayanan publik atau dalam menjalankan fungsinya sebagai “public servant”.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus.Dkk. 2008.Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.

Referensi Lain:



[1]http://www.sinarharapan.co.id/berita/0401/01/opi01.html
[2]Agus Dwiyantodkk,Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2008, hlm: 223
[3]http://fandhyachmadromadhon.blogspot.com/2013/10/mekanisme-yang-harus-dilakukan-untuk-merubah-watak-birokrasi.html

1 komentar: